Rabu, 13 April 2016

WILD ROSE





































Bagian 1: Awal dari kehidupan baru










































Langit malam tanpa bintang. Di sinari rembulan yang duduk anggun di singgasananya. Sinarnya menembus celah tirai gelap yang tidak di tutup jendelanya.




   Kamar remang yang tersinari cahaya rembulan terdengar suara berisik yang berasal dari sosok mungil yang gelisah dalam tidurnya. Kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri, keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya, selimutnya sudah terlempar jauh karena kakinya yang tidak bisa diam.




'Kami mencintaimu sayang, tetaplah hidup'




"Jangan...jangan...hentikan..." Bibir hati berwarna cerah tidak henti-hentinya meracau. Jelas sekali bahwa sosok itu tengah mimpi buruk.




'Kasihan sekali, anak manis sepertimu harus melihat orangtuanya mati dengan menyedihkan.' Bibir itu tersenyum sinis.




"Tidak...."




'Ucapkan selamat tidur pada mereka.' Moncong pistol itu mengarah ke kepala ibunya yang tersenyum lemah padanya disamping ayah yang sudah tertidur lelap. Sangat lelap.




"Jangan!" Sosok seorang gadis itu tersentak dari tidurnya. Dia mendudukkan dirinya di kasur dengan nafas terengah-engah, matanya melirik ke arah jam digital yang menunjukkan angka 05:47.  Dia memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Nafasnya mulai teratur.


"Mimpi itu lagi..." Gumamnya. Akhirnya dia beranjak dari kasur. Mungkin segelas susu hangat bisa menenangkan pikirannya.



























   "Diva!" Sosok seorang gadis berambut hitam panjang menghentikan langkahnya. Dia berbalik melihat seseorang yang memanggilnya. Terlihat seorang pemuda bersurai dark brown dengan tinggi yang tidak beda jauh darinya berlari ke arahnya. Berusaha keras menahan tawa melihat sahabat sejatinya yang terlihat sangat aneh.




"Apa? Kalau mau tertawa silahkan, tapi lihat dirimu sendiri. Tidak jauh berbeda denganku."




"Hahaha, tapi aku tidak berlebihan sepertimu Leo."


Leo memanyunkan bibir sambil memperhatikan dirinya, ia memakai seragam SMP, topi karton bertuliskan 'freshman', kalung cabai merah, tali plastik dipinggangnya yang diikat dengan berbagai macam jenis sayuran. Belum lagi karena dia terburu-buru, sepatu yang digunakan berbeda warna. Kiri putih, kanan merah. Lalu dia melihat Diva, dia hanya memakai kalung cabai dan topi karton. Sekarang bibirnya makin maju.




"Hahaha, sudahlah. Kau itu terlalu nurut sama senior kejam itu." Diva menepuk pundak sahabatnya, berusaha menenangkan kegundahan sahabatnya itu.




"Ayo kita berangkat, nanti telat..." Ucap Leo tanpa semangat, Diva tersenyum tipis melihatnya. Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan ke sekolah, menjalani hari pertama MOS sebagai siswa SMA. Sepanjang jalan mereka menjadi pusat perhatian karena penampilan aneh mereka. Tapi Leo sudah tidak peduli lagi dan Diva enjoy-enjoy saja.




"Sudah ku tetapkan bahwa senior Farah adalah hal yang paling menyebalkan setelah kucing!"




"Hahaha... Kau berlebihan Leo..."




"Biarkan! Seenaknya saja membuatku seperti isi kulkas berjalan begini."




Diva menggelengkan kepalanya. Sahabatnya ini seperti anak kecil. Diva memilih untuk memperhatikan sekelilingnya daripada meladeni Leo yang sedang mengoceh tidak jelas. Matanya tidak sengaja melihat sebuah keluarga di seberang sana.




"Ayah, Ibu, minggu depan kita ke kebun binatang kan?"




"Iya sayang, mama dan papa pergi dulu, belajar yang rajin ya."




"Baik! Cium dulu!"




Diva menatap sendu keluarga kecil itu. Ia teringat dengan kedua orangtuanya yang selalu memberikan kecupan kecil di kedua pipinya.




Mengantarkannya ke sekolah, masakan ibunya yang nikmat, ayahnya yang terlihat tegas tapi lembut secara bersamaan. Matanya tidak lepas dari anak kecil yang tengah melambai ke arah orangtuanya. Pikirannya melayang mengenang masa kecilnya.




'Ayah, kita akan pergi ke taman bermain kan?'




'Tentu sayang, kita akan naik kincir angin.'




'Hore!'




'Nanti Diva ingin beli apa?'




'Beli kembang gula dan popcorn!'




'Boleh, tapi jangan banyak-banyak, nanti giginya sakit.'




'Iya Ibu!'




"Diva!" Diva terkejut mendengar namanya dipanggil, saat dia menoleh wajah khawatir sahabatnya yang pertama kali terlihat.




"Kau melamun lagi?" Tanya Leo. Diva tidak menjawab. Tapi Leo sadar kalau tatapan mata Diva terpancar kesedihan dan kerinduan. Leo menghela napas, kemudian merangkul sahabatnya itu berusaha menyalurkan kekuatan. Diva tersenyum tipis. Merasa beruntung memiliki teman seperti Leo. Gedung sekolah mereka sudah terlihat menjulang di depan mereka. Begitu juga dengan senior Farah didepan gerbang dengan tangan menyilang didepan dada, jangan lupakan senyuman sinis yang tersungging di wajah cantiknya. Sepertinya mereka akan 'olahraga' pagi ini.




































"Sialan! Tulangku rasanya remuk semua! Awas saja kau senior Farah!" Diva menatap datar Leo yang sedang merutuk. Saat ini mereka berada di kantin. Leo bilang dia kelaparan dan dia tidak bawa bekal, jadilah mereka disini sekarang. Bersama dengan beberapa siswa yang kelaparan yang rata-rata kelas satu. Karena siswa kelas dua dan tiga di liburkan, hanya para pengurus osis dan yang berkepentingan saja yang berada di sekolah.




"Kau mau makan apa Leo?" Diva menawarkan diri untuk mengambil makanan. Dia tahu Leo pasti kelelahan karena dia selalu menjadi sasaran korban bully dari senior mereka yang bernama Farah. Entah itu disuruh berlari keliling lapangan, jalan jongkok, bahkan Leo hampir melakukan semua jenis senam lantai.




"Aku ingin bakso ikan dan jus jeruk." Diva mengangguk kemudian beranjak dari tempat duduknya. Dia ikut menganti bersama beberapa siswa kelas satu.




"Maaf, itu tempatku." Diva menoleh ke samping kanan, ada seorang siswi yang bertubuh mungil dengan rambut hitam yang panjang. Diva bisa salah mengira dia anak kelas satu SMP.




"Tadi aku pergi sebentar karena temanku memanggil." Gadis manis itu terlihat agak takut karena Divs hanya diam saja dengan wajah datar. Tapi kemudian Diva tersenyum manis yang memperlihatkan lesung pipinya.




"Silahkan, maaf mengambil tempatmu." Ucap Diva yang membuat gadis itu tersadar, kemudian dengan senyuman dia berdiri di depan Diva. Diva memperhatikan sekelilingnya, dari sini kelihatan Leo yang sedang berurusan lagi dengan senior Farah yang entah bagaimana sudah ada di sini. Kemudian dialihkan lagi pandangannya ke arah lain, di sudut kantin paling ujung ada sekumpulan pemuda yang tengah menatap dirinya. Diva mengerutkan kening, ada yang salah dengannya? Diva melihat ke arah lainnya, akhirnya dia sadar hampir semua memperhatikan dirinya dengan tatapan yang menurut Diva aneh.




'Mereka kenapa? Ada yang salah denganku? Perasaan aku biasa saja, apa yang aneh?'






















"Ayah, sedang apa?" Diva kecil berjinjit untuk melihat yang sedang dikerjakan ayahnya di atas meja. Tuan besar tersenyum tipis kemudian mengangkat putri kesayangannya ke pangkuannya.




"Ayah sedang menggambar rumah sayang. Lihat, bagus tidak?" Tuan besar menunjukkan gambar rancangan rumah yang minimalis dan terlihat nyaman.




"Bagus, Diva ingin tinggal di rumah ini. Bersama ayah dan ibu, juga dengan seekor kitty." Tuan besar tersenyum melihat anaknya bercerita dengan semangat.




"Kalau sudah besar Diva seharusnya tinggal sendiri." Interupsi Nyonya besar yang masuk membawa nampan berisi secangkir kopi untuk suami tercinta.




"Diva tidak mau tinggal sendiri, sendirian itu menakutkan." Diva menatap kedua orangtuanya dengan raut wajah sedih.




"Kalau begitu, Diva harus menemukan seseorang yang akan menjadi pendamping Diva di masa depan. Seperti ayah yang mendapatkan ibumu yang cantik ini." Ucap Tuan besar sambil merangkul istri tercinta yang mendapat cubitan sayang di lengan. Sementara Diva hanya menatap polos keduanya. Diva memang baru berusia 10 tahun, tapi pemikirannya sudah lebih dewasa dari anak seusianya.




'Pendamping? Seperti ayah dan ibu? Tapi Diva tidak mengerti maksudnya untuk apa. Kenapa semua orang perlu pendamping?'




   Tapi bagaimanapun juga Diva hanyalah seorang anak kecil yang masih polos dan butuh perhatian dan kasih sayang.




Diva mengusap air matanya saat ingatan itu mampir di benaknya. Saat ini dia berada di atap. Lima menit yang lalu Leo pergi berkencan dengan WC dan belum keluar sampai sekarang. Di atap ini dia bisa mendapatkan ketenangan. Dia sangat merindukan kedua orangtuanya. Kemudian dia menatap langit.




 'Ayah, Ibu, bagaimana kabar kalian? Diva baik-baik saja disini. Jangan khawatir, Diva sudah besar, bisa mengurus diri sendiri.'


Diva menutup matanya,setitik air mata mengalir dari mata bulatnya yang indah.




'Ayah, Ibu, aku merindukan kalian...'




Tidak dipedulikan lagi suara bel masuk yang berbunyi nyaring. Setelah ini dia ada materi didalam ruangan. Dia hanya butuh ketenangan. Mata bulatnya menatap langit biru yang dihiasi dengan lukisan awan-awan putih.




"Kau bisa terlambat kalau menatapi langit terus."
Diva terkejut mendengar suara seseorang di sampingnya. Dia menoleh, seorang pemuda berwajah sangar tapi tampan menatapnya, dia sangat tinggi. Sepertinya dia juga siswa tingkat satu, terlihat dari atribut aneh yang dipakainya.




"Kalau tidak masuk, nanti terlambat." Ucapannya perhatian tapi nada suaranya datar. Tanpa bicara apa-apa lagi dia meninggalkan Diva yang masih terdiam ditempat. Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul pemuda tinggi itu ke aula sekolah untuk mengikuti materi. Sampai di aula dia melihat Leo yang sudah duduk bersila di barisan depan. Dia langsung duduk disamping Leo, tidak lupa menepuk pahanya tanpa mempedulikan kalau sahabatnya itu kaget.




"Kau menakutiku! Ku pikir siapa! Dari mana saja kau? Aku sudah bosan berurusan terus dengan si drama queen itu."




"Itu sih derita mu."




"Hei!"




Leo memajukan bibirnya lagi, sementara Diva tidak mempedulikannya. Matanya menatap lurus ke arah kepala sekolah yang sedang membacakan peraturan sekolah. Tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang mengawasinya.





























"Bye, sampai jumpa besok Diva."




"Bye, Leo." Diva melambaikan tangan kepada Leo yang berbeda arah dengannya. Dia menghela napas saat Leo sudah berbelok, dia berbelok ke arah yang berlawanan.




'Sendirian lagi...'




   Diva sampai dirumah peninggalan mendiang orangtuanya, dia mengeluarkan kunci rumah dari saku roknya. Memasukkan kunci ke lubangnya, dan membuka pintu.




"Aku pulang."




Hening.




   Hanya itu yang bisa Diva dapatkan. Dia sudah terbiasa dengan hal ini. Diva melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. Dia menaiki tangga ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Setelah sampai dikamar, di lemparkannya asal tas hitam dan atribut aneh dari badannya. Diva hanya terdiam, matanya menatap suatu objek di meja belajarnya.




"Aku pulang, Ayah... Ibu..." Ucapnya lirih di depan foto orangtuanya dengan pigura berwarna biru dengan hiasan pinguin kecil di sudutnya. Diva menutup mata, setiap hari selalu sama. Sendirian dirumah penuh kenangan ini. Padahal Diva benci sendirian.














































Malam telah merajai. Di sudut kota, terdapat sebuah bangunan tua yang sudah tidak layak huni. Gedung bertingkat tiga dengan atap bolong dan kaca jendela yang sudah hampir pecah seluruhnya sudah tidak terurus lagi. Tapi hal ini dimanfaatkan oleh gengster yang berjumlah 7 orang. Saat ini ke tujuh orang itu sedang berkumpul untuk merencanakan sesuatu. Ruangannya remang, hanya di isi dengan sebuah meja kayu dan kursi-kursi kayu, sebagian dari kursi itu sudah rusak. Pencahayaan hanya berasal dari sebuah lampu 5 watt yang menambah kesan suram. Tujuh orang pemuda berwajah 'wow' duduk di kursi mengelilingi meja dengan berbagai macam ekspresi.




"Aku bosan. Tidak ada yang bisa kita lakukan ya?"


"Tumben kau bosan albino, tidak bercinta dengan PSP mu itu?"


"Diam kau bocah."


"Hei, kelompok yang namanya Baper itu membuat masalah dengan toko bibiku, kalian ingin membantu?"


 "Raven perut karet, Raven, bukan Baper."


"Iya, apalah itu."


"...."


"Harus kita apakan mereka?"


"........"


"Musnahkan para tikus itu."


"Dengan senang hati."


"Sepertinya akan ada berita besar besok."


"Yeah, dan aku sangat bersemangat saat ini. Tanganku gatal ingin menghajar orang."


"Jangan sampai polisi itu tahu kita yang melakukannya."


"Serahkan pada kami."


"Kita akan berpesta malam ini."
Semua yang ada diruangan remang itu tersenyum mengerikan.

















Aroma alkohol yang kuat dan musik rock yang terdengar dari sebuah stereo besar begitu serasi dengan orang-orang yang urak-urakan. Sekelompok orang itu berpesta di sudut kota yang kumuh.


"Hahaha, kita panen besar!" Seorang pemuda yang mabuk tertawa keras.


"Tidak kusangka toko perhiasan itu memiliki uang tunai sebanyak ini, hahaha!"
Ditengah suasana yang kacau itu tiba-tiba saja stereo besar hancur karena sebuah batu besar yang menimpanya.


"Sialan! Siapa itu!" Seseorang yang berbadan besar berteriak marah. Dia menoleh ke arah kegelapan.


"Wah wah wah, sepertinya kalian sangat menikmatinya." Seseorang berambut pirang muncul dari kegelapan malam, senyuman sinis tersungging di wajah tampannya. Diikuti oleh enam orang di belakangnya.


"Enak sekali kalian menjarah toko orang." Pemuda berambut coklat ikal maju kedepan, tangannya menyeret sebuah pemukul baseball. Senyuman manis yang terpampang di wajahnya yang memberi kesan menyeramkan.
Para pemuda yang sedang berpesta itu langsung saja ketakutan. Ternyata mereka membuat sekelompok orang yang paling ditakuti di kota ini marah.


"Kalian tahu, toko yang kalian rampok adalah toko milik bibiku." Pemuda berambut coklat itu mengangkat tongkat pemukul itu ke depan, senyumnya semakin lebar.


"Kalian pasti tahu konsekuensinya kan?"


Suasana begitu kacau, suara tulang yang patah dan teriakan pilu mengisi heningnya malam di sudut kota begitu mengerikan untuk didengar.


"Ma, maafkan aku Gray, aku tidak tahu itu milik bibimu, maafkan aku..." Sosok seorang pemuda yang dalam keadaan yang menyedihkan beringsut mundur dari seorang pemuda yang sedang tersenyum di hadapannya.


"Kenapa? Kau takut?" Pemuda yang dipanggil Gray mengayunkan tongkat pemukul ke kepalanya, membuat tengkorak itu remuk dihantam oleh kayu keras. Gray tersenyum puas. "Tapi sayangnya sudah terlambat."


"Huuaaahh... Melelahkan!!" Pemuda yang memiliki tinggi pas-pasan merenggangkan tubuhnya, seorang pemuda tinggi berambut pirang memakaikan topi merah ke kepalanya.


"Lain kali jangan jatuhkan topimu Yogi."


"Wah? Aku tidak sadar topiku jatuh. Untung kau mengembalikannya Agustin." Yogi memegang topinya sendiri, baginya topi adalah bagian dari hidupnya.


"Akh! Sial! Tanganku tergores. Pasti saat aku menahan kayu yang dilemparkan oleh si gendut itu tadi." Seorang pemuda berambut pirang yang mendekati putih menyingkap baju bagian lengan untuk melihat luka yang didapatnya.


"Coba kulihat lukamu, Alex." Pemuda berlesung pipi mendekati Alex, memeriksa lukanya. "Lukanya lumayan dalam dan kotor, jika tidak di bersihkan bisa infeksi."


"Oke, sementara kalian mengobati Alex, aku dan Darren akan 'membersihkan' tempat ini." Seorang pemuda berambut hitam menunjuk seseorang yang memiliki wajah mirip dengannya, tapi hanya berbeda warna rambut saja.


"Baiklah, kami akan menunggu kalian di markas, tempat ini membuatku sakit." Agustin berjalan lebih dulu.


"Kami mengandalkan kalian Darres, Darren." Yogi memberikan jempol kepada kembar itu.


"Serahkan saja pada kami."


"Semuanya akan beres."


Kedua kembar itu mulai melakukan tugasnya, membuat tempat yang kacau balau itu bersih tanpa ada satupun jejak keberadaan mereka. Setelah semuanya beres, keduanya meninggalkan tempat itu.


Mereka bukanlah orang biasa. Mereka memang masih muda. Tapi jangan remehkan mereka, karena mereka adalah anak-anak yang memiliki kemampuan istimewa.


Mereka di ajarkan untuk membunuh.


Tapi mereka mengelak hal itu.